Sexy Body Istri Tetangga

Di post kali ini, saya ingin menshare kepada teman-teman semua tentang sebuah tulisan yang saya rasa indah. tulisan ini mengenai isu perbedaan agama dan bagaimana kita menyikapinya. Tulisan ini diibuat oleh Emha Ainun Najib yang saya dapatkan dari notes facebook teman saya, Salwa Amaliyah. Dalam tulisan ini, yang menarik adalah si penulis menganalogikan hubungan antar agama itu seperti kita melihat istri tetangga kita. Dan disini, saya melihat ada issue penempatan pluralisme kembali kepada ranahnya yaitu, ke ranah sosiologi. Mari kita simak

Sexy Body Istri Tetangga

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Dalam forum maiyahan, tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar, sering saya bertanya kepada forum:”Apakah anda punya tetangga?”

Biasanya dijawab: “Tentu punya”

“Punya istri enggak tetangga Anda?”

“Ya, punya dong”

“Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?”

“Secara khusus,tak pernah melihat”

“Jari-jari kakinya lima atau tujuh?”

“Tidak pernah memperhatikan”

“Body-nya sexy enggak?”

Hadirin biasanya tertawa. Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka:”Sexy atau tidak bukan urusan kita,kan?Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja”.

Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.

Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah, justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.

Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.

Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.

Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, apdahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah.

Atau ada irang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.

Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama dibidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gungung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama.

Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapipun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dangan hati. Itulah maiyah. (emha ainun nadjib)

Lihat kembali dimana Emha Ainun Najib mengajak kita untuk tidak memperdebatkan masalah keyakinan, karena itu urusan orang per orang dengan Tuhannya. Dan lihat pula dimana si penulis tetap mengajak adanya interaksi harmonis antar umat beragama dalam kehidupan sosial. Inilah yang mungkin menjadi realisasi dari tulisan saya sebelumnya dengan judul 'Meredefenisikan Pluralisme'.

Comments

  1. wah tulisannya bagus Riz... analoginya sangat sederhana tapi mengena..
    kalo ada tulisan lain yg seperti ini di-postkan ya.. :-)

    ReplyDelete
  2. iya, judulnya bikin pengen baca.. trus pas dibaca isinya, malah lebih bagus dari judulnya.. analoginya sederhana tapi mengena.. hhe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Why Bad Reviews Don’t Stop Me from Watching X-Men: Apocalypse

Movie Review | Stream of Tears in Wedding Dress

Kung Fu Panda 2 | Movie Review