Naik Motor di Jalanan Ibu Kota itu rasanya
infojkt.com |
Tak terasa, hampir satu tahun saya mengendarai motor di
Jakarta. Pada awalnya, saya bersikukuh tidak mau mengendarai motor di kota ini.
Bagaimana tidak? Pada beberapa bulan pertama di kota ini, saya menyaksikan
bahwa pengendara motor di kota ini gila. Rambu-rambu dan peraturan lalu lintas
yang ada seakan tidak bisa mengatur mereka. Namun pada akhirnya saya menyerah
karena saya ternyata membutuhkan sebuah sepeda motor.
Pekerjaan saya yang lama menuntut mobilitas yang tinggi dan
saya tidak bisa bergantung pada transportasi umum yang ada. Bus Transjakarta
yang telah mengantar saya selama 6 bulan pertama di Jakarta semakin tidak bisa
diandalakan. Waktu tunggu yang lama, penumpang yang melebihi batas dan jumlah
armada, yang menurut hemat saya, masih terbatas membuat saya menyerah untuk
bergantung pada Transjakarta. Mulai di pertengahan tahun lalu, saya menjadi
seorang pengendara motor.
Naik motor di Jakarta itu membuat stress. Begitulah kesan
pertama saya ketika pertama kali mengendarai motor di jalanan ibu kota. Saya berasal
dari Surakarta, sebuah kota kecil di tengah pulau Jawa dengan jumlah penduduk
sekitar 500 – satu juta jiwa. Meskipun jalanan di kampung halaman saya tidak banyak
yang luas, namun saya tidak pernah merasa ‘tertekan’ atau ‘stress’ berlebihan
ketika mengendarai motor. Disana tidak banyak titik macet atau antrian
kendaraan di perempatan yang terdapat lampu lalu lintas. Namun suasana di ibu
kota sungguh berbeda.
Thousands of motorists sit stuck in the morning gridlock
after a group of protesters blocked one of Jakarta's main roads on February 22,
2010. The number of motor vehicles including motorcycles in greater Jakarta has
almost tripled in the past eight years to 9.52 million. Meanwhile road space
has grown less than one percent annually since 2004, according to the
Indonesian Transport Society. (BAY ISMOYO/AFP/Getty Images) #(picture
and caption credits to boston.com)
|
Jalanan di Jakarta banyak yang luas. Total luas jalanan di
Jakarta sebesar 650 km persegi, 6 persen dari total luas Jakarta. Namun wajar
saja, mereka tampaknya masih tak cukup untuk mengakomodir jumlah kendaraan yang
ada. Kurang lebih ada 20 juta kendaraan
yang berseliweran di jalanan ibu kota tiap harinya. Dengan jumlah kendaraan sebanyak
itu, idealnya, luas jalanan Jakarta harusnya 12 persen dari total luas wilayah.
Maka, tak heran apabila kemacetan menjadi makanan pokok warga ibu kota, dan
sayangnya menjadi makanan saya.
Sekarang ini hampir setiap hari saya berjibaku dengan ribuan
pengendara motor lain di jalanan Jakarta. Saya tak bisa mengeluh karena ini
adalah resiko dari pilihan saya menggunakan motor di sini. Namun disini saya ingin membagi sedikit cerita
selama saya berkendara.
Tampaknya semua orang
terburu-buru
Di Surakarta, sangat jarang mobil atau motor membunyikan
klakson ketika di jalanan kecuali ada sesuatu yang menghalangi jalan mereka.
Namun, di Jakarta hampir setiap saat mobil dan motor membunyikan klakson
mereka. Entahlah, tampaknya mereka selalu terburu-buru atau merasa tidak sabar
dengan kemacetan. Namun mereka sepertinya harus lebih belajar menerima fakta
bahwa mereka hidup di Jakarta. Mereka sepertinya lupa kalau hidup di Jakarta.
‘Dipaksa’ melanggar
peraturan
Berlomba menjadi nomer 1 (photo from Adam Art, FLICKR) |
Banyak orang bilang ‘Hajar Sajaaa’ kalau kalian berkendara
di jalanan ibu kota. Ya, sepertinya hal itu benar. Lampu lalu lintas bukanlah
menjadi penghalang bagi banyak pengendara motor. Banyak yang ‘menghajar’ dan
nekat menyebrangi perempatan apabila mereka merasa cukup aman, tanpa
memperdulikan warna lampu lalu lintas. Banyak motor pula yang berhenti jauh di
depan lampu perlintasan lalu lintas. Mereka, sepertinya, lagi-lagi mengandalkan
intuisi mereka untuk mengatakan kapan saat yang tepat untuk menyebrangi
perempatan jalan raya.
Pernah suatu ketika, saya mencoba menaati peraturan. Saya
berhenti tepat dibelakang garis putih sebelum lampu perempatan. Namun, banyak
pengendara motor dibelakang saya meneriaki dan membunyikan klakson mereka,
menginstruksikan agar saya maju melewati garis putih batas kendaraan harus
berhenti di suatu persimpangan atau perempatan. Saya pun pada akhirnya terpaksa
memenuhi ‘permintaan manis’ para pengendara motor lainnya.
Off-road di jalan raya
Pengendara motor beraksi naek turun trotoar (photo by ceritamu,com) |
Sering kali, kemacetan mengular panjang hingga beberapa
kilometer. Bagi pengendara mobil, tentu saja hal itu akan sangat membikin
frustasi. Namun, hal demikian tidak berlaku bagi pengendara motor. Mereka akan
dengan gesitnya mencoba melewati celah celah diantara deretan mobil. Bagi yang
tidak beruntung, mungkin akan menyerempet spion salah satu mobil. Walhasil,
saya pernah menyaksikan seorang pengendara mobil turun dari kendaraannya dan ‘menghajar’
seorang pengendara motor yang telah mematahkan spionnya.
Sementara itu, pengendara motor yang lain memilih untuk
mengetes kemampuan off road mereka di trotoar. Gila memang. Sepertinya hanya di
Jakarta dimana pengendara motor bisa melewati trotoar. Tidakkah mereka berfikir
bahwa mereka telah mengganggu hak pejalan kaki? Atau setidaknya, tidakkah
mereka berfikir akan keselamatan mereka? Mereka melewati trotoar yang tidak dirancang
untuk menahan beban motor. Bagaimana apabila suatu saat trotoar yang mereka
lewati ambles dan para pengendara motor yang handal ini terperosok ke parit
dibawahnya? Tentunya itu akan menjadi berita yang menarik.
Pada awalnya saya hanya berniat untuk membuat tulisan pendek
saja mengenai hal ini. Namun apa daya, jari jemari saya berkata lain. Bagi saya
intinya, enjoy aja ketika berkendara di jalanan ibu kota. Tak perlu lah ‘grusa
grusu’ (terburu-buru) dan mengorbankan keselamatan kita. Safety riding comes
first !!
DISCLAIMER: Saya tak pernah menjadi pengendara motor yang
mencoba off-road di Jakarta. Sebisa mungkin saya akan menaati peraturan dan mencoba
menjadi pengendara motor yang baik.
Comments
Post a Comment