Problematika kolom Agama

Beberapa hari yang lalu saya menemani salah seorang penerima beasiswa Fulbright dari Amerika untuk mengurus surat keterangan jalan di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta Selatan. Kolom demi kolom dia isi dengan seksama hingga pada akhirnya dia berhenti di suatu kolom dan bertanya kepada saya. 

“Why do they ask me to mention my religion?” kata Megan, sang penerima beasiswa tersebut. Welcome to Indonesia Megan! Anda baru saja mengalami sedikit cultural shock.

Megan berasal dari Amerika, sebuah negeri yang terkenal akan prinsip pemerintahan yang memisahkan agama dari urusan pemerintahan. Bagi pemerintah Amerika, agama benar-benar menjadi urusan yang sangat sacral antara seorang individu manusia. Seorang manusia boleh saja tidak beragama apabila dia merasa hal itu benar baginya. Dia tidak akan mendapatkan sanksi dari siapapun – baik dari Negara ataupun dari masyarakat – karena memilih untuk tidak beragama. Agama benar benar menjadi urusan masing masing individu warga negara.

Memang, hal tersebut diatas adalah suatu gambaran besar ideal Amerika. Pada kenyataannya, diskriminasi yang berdasarkan agama masih tetap ada di negara Paman Sam. Paska kejadian 11 September, sentimen anti-Islam, atau yang lebih dikenal sebagai Islamophobia, semakin berkembang. Mereka yang menggunakan atribut Islam – wanita berjilbab misalnya – kadang masih mendapat perlakuan diskriminatif di beberapa negara bagian. Kejadian-kejadian tersebut tak bisa dipungkiri benar-benar terjadi di sana. 

Namun, satu hal yang pasti, negara tidak ikut campur dalam urusan agama seseorang. Dengan demikian, berbagai dokumen untuk hal administratif, misalnya, tidak mencantumkan kolom agama. Oleh karena itu, Megan merasa sedikit terkejut ketika dia diminta menyebutkan agamanya di dokumen negara orang lain padahal dia tidak pernah diminta hal demikian di negaranya sendiri.
KTP Indonesia 

Sebenarnya, debat tentang perlu atau tidaknya kolom agama di berbagai dokumen administrasi di Indonesia sudah lama ada. Hanya saja, hingga sekarang hanya sedikit yang menaruh perhatian pada masalah tersebut. Mereka yang mendukung agar kolom agama dihapus dari dokumen negara, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), kebanyakan datang dari penggiat atau aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan golongan minoritas penganut kepercayaan, seperti Suku Badui yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka yang tidak memeliki latar belakang sebagai penggiat HAM atau sebagai bagian dari golongan minoritas cendurung mengabaikan begitu saja. Wajar, ini adalah penyakit yang selalu dimiliki kelompok mayoritas.

Melalui tulisan ini, saya ingin berpendapat bahwa sebaiknya, kolom agama memang dihapuskan dari berbagai dokumen  baik itu resmi dan tidak resmi. Kenapa begitu? Sederhana saja sih alasannya. Saya menganggap menyebutkan agama saya di berbagai dokumen itu tidak begitu penting.

Pernah suatu ketika, saya sakit dan ingin berobat ke rumah sakit terdekat. Sebelum bisa berkonsultasi dengan dokter, saya harus mendaftarkan diri sebagai pasien di rumah sakit tersebut. Saat itu kondisi saya sudah pusing dan sudah malas sekali untuk mengisi formulir yang lumayan panjang. Di saat seperti itu, saya masih harus menyebutkan agama saya. Saat itu, saya berfikir seperti Megan, “Apa perlunya sih menyebutkan agama saya? Toh saya ini sakit dan butuh perawatan medis.” Saya jadi berfikir apakah dokter hanya akan mencarikan donor darah dari orang yang seagama dengan saya? Tentunya tidak kan.

Pernah pula suatu ketika, saya menemani seorang teman saya membeli televisi di suatu pusat perbelanjaan. Disitu dia diminta mengisi formulir, dan lagi-lagi, ada kolom agama yang harus diisi. Yang ada di benak saya adalah, mengapa si took tersebut mencantumkan kolom agama di formulir itu? Toh, teman saya cuma mau membeli televisi. Saya pun jadi berfikir, apakah teman saya akan dapat diskon bila ternyata dia seagama dengan si penjual? Tentu saja hal ini juga tidak mungkin.

Dari beberapa pengalaman sederhana ini saya merasa bahwa pencantuman kolom agama di beberapa dokumen itu tidaklah penting. Negara ini selalu mengatakan bahwa tidak ada diskriminasi berdasarkan suku, ras, agama atau golongan tertentu. Tentunya, bila hal itu benar-benar dilakukan, penghapusan kolom agama di berbagai dokumen yang ada di Indonesia tidaklah akan menjadi suatu masalah yang besar.





Comments

Popular posts from this blog

Movie Review | Stream of Tears in Wedding Dress

Dispelling Disney Princess Myth

Ghosts as Popular Culture